Kedua: al-hayyu dalam arti “orang mukmin yang memperoleh hidayah”.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Qs. Yâsîn (36): 70).
Kalimat man kâna hayyan (orang-orang yang hidup) yang maksudkan di ayat ini adalah “orang mukmin yang mendapatkan petunjuk dalam mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla”.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’âm (6): 122).
Kalimat faahyainâhu (kemudian dia Kami hidupkan) dalam ayat di atas, maksudnya, “Kami (Allah) telah memberikan petunjuk kepadanya.”
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga bersabda:
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Qs. Al-Fâthir (35): 22).
Kata al-ahyâ (orang-orang yang hidup) dalam ayat di atas, berarti, “orang-orang yang beriman” dan kata al-amwât (orang-orang yang mati), bermakna, “orang-orang kafir”.4
Ketiga: al-ihyâ‘ (menghidupkan) dalam arti “memelihara”, sedang al-hayât dalam arti “pemeliharaan”.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah (2): 179).
Kata hayâtun dalam ayat tersebut bermakna jaminan kelangsungan hidup.
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Qs. Al-Mâ‘idah (5): 32).
Kalimat man ahyâhâ, mempunyai pengertian, “siapa saja yang memelihara kehidupan seseorang.”
Kemudian dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. Al-Baqarah (2): 49).
Maksud kata yastahyûn di sini, berarti, “pengikut Fir’aun membiarkan anak-anak perempuan kalian tetap hidup.”
Keempat: al-hayât dalam arti “hidup dan berkembangnya bumi dengan tumbuh-tumbuhan”.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Dan Allah, Dia-lah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.” (Qs. Al-Fâthir (35): 9).
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga dalam ayat lain juga berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Qs. Al-Rûm (30): 24).
Kemudian dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang lain:
“Untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (Qs. Qâf (50): 11).
Maksud dari tiga ayat di atas ini yakni “Allah menghidupkan bumi yang pada awalnya gersang tanpa ada tumbuhan sama sekali dengan menjadikannya subur sehingga tumbuhlah berbagai macam tumbuhan dan bunga. Kemudian jadilah bumi ini dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan padahal sebelumnya ia tandus lagi gersang.”5
Kelima: al-ihyâ‘ dalam arti “penghidupan kembali sesuatu yang telah mati tanpa makanan dan tanpa ada bekas di dunia, sebagai pelajaran sebelum datangnya hari kiamat”.
Makna seperti ini kita dapatkan dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berikut:
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mu`jizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Qs. Ali ‘Imran (3): 49).
Dengan kehendak Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, Nabi Isa ‘alaihissalâm bisa menghidupkan orang yang telah meninggal dunia supaya menjadi pelajaran bagi Bani Israil. Beliau menghidupkan kembali seseorang yang bernama Sâm bin Nûh. Sâm bin Nûh kemudian bercerita kepada Bani Israil tentang apa yang telah terjadi pada dirinya, setelah itu dia mati lagi seperti sediakala.
Keenam: al-hayât dalam arti “kehidupan dunia”.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Qs. Al-Ra’d (3): 26).
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah (2): 96).
Dalam ayat ini seolah-oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berkata, “Wahai Muhammad, kamu pasti akan menjumpai orang-orang yang sangat rakus pada kehidupan dunia hayât dan sangat membenci kematian, mereka adalah orang-orang Yahudi.”
Ketujuh: al-hayât dalam arti “kehidupan akhirat yang abadi”.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Dia mengatakan, Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al-Fajr (89): 24).
Ayat tersebut mengandung pengertian, bahwa “orang itu berharap bisa mempersembahkan kebaikan dan amal saleh. Huruf “lâm” yang menggandeng kata al-hayat memberi pengertian ‘demi’, yakni, “Demi kepentingan hidupku”. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sejati. Karena kehidupan tersebut kekal tanpa ada batas.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-‘Ankabût (29): 64).
Dalam ayat ini, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberi peringatan, dengan firman-Nya yang berbunyi lahiya al-hayawân, bahwa “kehidupan yang hakiki dan abadi adalah kehidupan yang tak akan pernah sirna, bukan kehidupan yang hanya sementara.”
Kedelapan: al-hayât sebagai salah satu sifat Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.” (Qs Ali ‘Imran (3): 2).
Jika ada yang mengatakan bahwa Allah hayyun (Mahahidup), maka maksud dari perkataan itu adalah “sifat mati itu tidak layak bagi Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, dan sifat Mahahidup hanya pantas dimiliki oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
By. Darmawan
terkait: http://www.baitulquran.or.id/
Comments :
0 komentar to “Tafsir Kata al-Hayah dalam Al-Quran [2]”
Posting Komentar